GARIS WAKTU DESAIN GRAFIS INDONESIA
Industri percetakan di wilayah Nusantara berkembang sejalan dengan
penerbitan surat kabar dan buku yang diperkirakan berkembang sejak abad
ke-17, ketika mesin cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada
tahun 1659. Karena tidak ada operatornya, mesin itu menganggur sampai
berpuluh-puluh tahun. Tujuan misionaris mendatangkan mesin cetak erat
kaitannya dengan niat mereka untuk mencetak kitab suci dan buku-buku
pendidikan Kristen. Selain mencetak kitab suci, mereka juga menerbitkan
surat kabar berhaluan pendidikan Kristen.
Mesin cetak merk ‘Faber & Schleider’ yang diduga diimpor pertama kali di wilayah Hindia Belanda.
Para pembaca koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda di awal-awal
keberadaannya adalah orang-orang Eropa, kalangan bumiputra yang menjadi
priyayi, kaum Tionghoa (untuk keperluan dagang), dan orang-orang
indo/olanda. Baru pemerintah jajahan di bawah Daendelslah yang berperan
besar dalam urusan cetak-mencetak dengan membentuk percetakan negara
yang berurusan dengan mencetak peraturan-peraturan Belanda. Maka
mulailah dikenal surat kabar yang tidak hanya memuat informasi yang
nilainya ekonomis, tetapi juga memuat peraturan-peraturan perundangan.
Sumber:
Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
Pergeseran
Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi
Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari

Sumber gambar:
In Search of a Style
Iklan pertama di Hindia Belanda: 17 Agustus 1744
Perintis tumbuhnya iklan di Hindia Belanda adalah Jan Pieterzoen
Coen. Dia pendiri Batavia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun
1619-1629. PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) mengakuinya
sebagai
tokoh periklanan pertama di Indonesia.

Dalam masa pemerintahannya, ia mengirim berita ke pemerintah setempat
di Ambon dengan judul Memorie De Nouvelles, yang mana salinannya
ditulis dengan tulisan tangan pada tahun 1621. Tulisan tangannya yang
indah ternyata merupakan refleksi dari naluri bersaing antara pemerintah
Hindia Belanda dengan Portugis. Kedua negara rupanya terlibat dalam
perebutan hasil rempah-rempah dari kepulauan Ambon, dan Jan Pieterzoen
Coen ‘menulis’ iklan untuk melawan aktivitas perdagangan oleh Portugis.
Lebih dari satu abad kemudian, setelah Jan Pieterzoen Coen meninggal,
tulisan tangannya diterbitkan kembali di surat kabar Batavia Nouvelles
pada tanggal 17 Agustus 1744. Batavia Nouvelles merupakan surat kabar
pertama di Hindia Belanda. Dengan demikian, iklan yang dimuatnya pun
merupakan iklan pertama di Hindia Belanda. Kenyataan ini menunjukkan,
bahwa surat kabar dan iklan lahir tepat bersamaan di Hindia Belanda.
Yang berperan dalam memediakan kembali iklan tersebut di Hindia
Belanda adalah karyawan sekretariat dari kantor Gubernur Jenderal
Imhoff, Jourdans.
Surat kabar Batavia Nouvelles hanya berusia dua tahun.
Negeri Belanda, sejak abad ke-16 merupakan pusat penulisan silografi
(tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan ini digunakan juga untuk
penulisan iklan dalam bentuk poster.
Sumber:
“Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
INDUSTRI PERCETAKAN ABAD KE 18-20
Surat kabar yang pertama kali dicetak adalah
De Bataviase Nouvelles terbit di Batavia pada tahun 1744, kemudian
De Locomotief terbit pada tahun 1852 di Semarang dan
Bataviassch Niewsblaad terbit di Batavia pada tahun 1885. Dunia persuratkabaran milik warga pribumi adalah
Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1920-an. (Kartodirjo,1992:112-113)
Pada tahun 1776, setelah pelarangan penerbitan surat kabar
De Bataviase Nouvelles
pada tanggal 20 November 1745, pemerintah kolonial memberi izin kepada L
Dominicus seorang pakar dalam percetakan untuk menerbitkan mingguan
yang diberi nama
Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang). Mingguan ini
berisi berita lelang perusahaan-perusahaan perdagangan di bawah VOC.
Sedangkan pemasangan iklan diluar perusahaan VOC dikenakan biaya.
Mingguan ini bertahan terbit antara tahun 1776 hingga 1809.
(Riyanto,2000:52-53)
Di abad ke-19, terbit beberapa surat kabar berbahasa Indonesia
(Melayu) di antaranya ‘Soerat Kabar Bahasa Melajoe’ yang diterbitkan di
Surabaya pada tahun 1861. Kemudian ‘Bintang Timoer surat kabar dua
mingguan yang memuat pelbagai berita sosial-ekonomi. Kemudian di
Semarang pada tahun 1860 terbit
Selompret Melajoe of Semarang.
Pada tahun 1883 para pengusaha Cina mulai terlibat usaha percetakan dan
buku, terutama penerbitan buku terjemahan sastra Cina klasik yang
kemudian berkembang menjadi komoditas percetakan yang semakin meluas.
Berkembangnya industri percetakan merupakan tahap penting dalam
keterbukaan budaya, karena di dalamnya terdapat perluasan dan pelintasan
komunikasi verbal maupun gambar. Rekaman melalui gambar dan penataan
huruf di masa tersebut telah tampak sebagai bagian penting dari industri
percetakan. Pada tahun 1919 telah tercatat 120 perusahaan yang
mempekerjakan 3.080 orang di industri percetakan, sebagian di antara
kegiatan industri tersebut adalah pekerjaan desain grafis. Tidak
tercatat angka secara pasti berapa jumlah tenaga penata rupa surat
kabar, buku, poster, dan produk cetak lainnya. Demikian pula jumlah
ilustrator, perancang grafis dan fotografer. Selama pemerintahan
kolonial, tercatat lebih 3000 seniman bangsa asing (Belanda, Jerman)
yang dicatat dalam
Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia
(1600-1950) dengan pelbagai bidang pekerjaan seni; di antaranya
pelukis, peneliti seni, ilustrator cat air, juru gambar, pematung,
ilustrator, pendesain grafis dan perupa produk industri. Sedangkan
seniman bangsa Indonesia tidak dimasukkan ke dalam leksikon tersebut.
Terlepas dari hal tersebut, fenomena itu menunjukkan bahwa kegiatan
komunikasi cetak memiliki peran dan makna yang cukup penting dalam
kehidupan sehari-hari. Namun demikian, dalam percaturan sejarah
kebudayaan, perkembangan karya cetak sebagai bagian dari peradaban
bangsa belum mendapat posisi yang penting.
Sumber:
Pergeseran
Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi
Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Brosur-brosur pertama untuk “go public”
Pertumbuhan iklan di jaman Hindia Belanda, sangat dipengaruhi pula
oleh masuknya modal swasta ke sektor perkebunan dan pertambangan pada
tahun 1870. Karena perkembangan itu ternyata menumbuhkan kebutuhan baru,
berupa pembentukan lembaga-lembaga penelitian untuk mengembangkan dan
mengakumulasi modal mereka, seperti yang dilakukan oleh asosiasi
perusahaan-perusahaan gula, Suikersyndicaat, misalnya. Asosiasi ini juga
bertugas sebagai lembaga penelitian, dan sekaligus memproduksi pula
brosur-brosur sebagai wahana informasi dan promosi. Dengan demikian,
para calon penanam modal di perusahaan perkebunan mereka mengetahui
seberapa jauh rentabilitas investasi mereka.
Javaasche Bank menggunakan barang-barang cetakan untuk mengundang
modal asing ke Hindia Belanda. Brosur dan buklet perkenalan mereka
umumnya dicetak di percetakan G.C.T. van Dorp & Co., yang berlokasi
di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Sumber:
“Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1893
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Percetakan Negara di Jakarta,
pada waktu itu yang terbesar di Asia. Sementara itu di seluruh Indonesia
sudah terdapat 6500 percetakan, 2700 di antaranya terdapat di Jakarta.
Industri grafika dan dunia penerbitan di Indonesia pada waktu itu sudah
mulai menyadari pentingnya desain grafis.
Laribu Meyoko, sekretaris Percetakan Negara: “Mengapa desain itu
penting? Barang cetakan sama seperti manusia: penampilan lahiriahnya
yang penting. Untuk memberi kesan yang baik, untuk menarik perhatian,
untuk memberi kepercayaan. Desain grafis di Indonesia mempunyai masa
depan gemilang.”
Sumber: Buku “Nederland Indonesia, 1945-1995, Suatu Pertalian Budaya”, [Z]OO produkties, Den Haag, 1995, hal. 165.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1938
Pada tahun 1938 berdiri PERSAGI (Persatuan Akhli Gambar Indonesia) di
Jakarta dengan anggota kurang lebih tiga puluh pelukis (di antaranya
Agus Djaja sebagai ketua, S. Sudjojono, Abdul Salam, Sumitro, Sudibio,
Sukirno, Suromo, Surono, Setyosa, Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria
Sunasa, dan sejumlah seniman lainnya). Serikat ini sering dianggap
sebagai awal seni rupa modern Indonesia.
Para pelukis PERSAGI berupaya membangun ‘gaya Indonesia baru’ yang
dikembangkan dari paduan antara nilai estetik tradisi dan nilai estetik
modern. Semasa kolonisasi Jepang di Indonesia, PERSAGI mendapat wadah
yang bernama
Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang)
yang didirikan pada tahun 1943. Spirit yang dicanangkan Jepang untuk
membangun ‘Kebudayaan Timur’ mendapat tanggapan postif, hal ini terbukti
dari keterlibatan para pelukis dalam membina senilukis Indonesia, dan
tokoh-tokohnya antara lain adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi
yang kemudian diikuti oleh sejumlah pelukis muda di antaranya Otto
Djaja, Henk Ngantung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono
Yudhokusumo, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus, Baharuddin, dan sejumlah
seniman lainnya.
Sumber:
Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia Abad ke-20.
Dari atas ke bawah: Agus Djaja, S Sudjojono.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1945
Poster “Boeng, ayo boeng!”
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di
Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan
tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai – yang terdiri dari Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas
Mansyur – memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk
ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak
sebagai tenaga pelaksana dan S Soedjojono sebagai penanggung jawab,
yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Dari atas ke bawah: Affandi, Chairil Anwar.
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil
bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain
“Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung
Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Saat itulah, Affandi mendapat
tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang
yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah
pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu?
Kebetulan datang penyair Chairil Anwar (1922-1949). S Soedjojono
menanyakan kepada Chairil, maka dengan ringan Chairil menyahut: “Bung,
ayo bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis
siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Darimanakah
Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan
pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
Sumber:
Affandi (1907-1990) – Maestro Seni Lukis Indonesia

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 Agustus 1947
Berdiri Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas
Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia di Bandung sebagai cikal
bakal berdirinya Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Pada tahun
1956, sekolah pendidikan guru gambar ini bersama bagian arsitektur
digabung menjadi Bagian Arsitektur dan Seni Rupa. Bagian Seni Rupa
terbagi menjadi dua bidang studi yaitu Pendidikan Seni Rupa dan Seni
Lukis. Pada tahun 1959 Bagian Arsitektur dan Bagian Seni Rupa berubah
nama menjadi Departemen Perencanaan dan Seni Rupa bersamaan dengan
lahirnya Institut Teknologi Bandung. Bagian Seni Rupa terbagi menjadi
Pendidikan Seni Rupa, Seni Lukis dan Seni Interior.
Sumber:
Sejarah Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1949
Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri
Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia (disingkat
ASRI) didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15
Januari 1950. Ketergesaan ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan
agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan
ibukota Negara. Sebagaimana diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua
belas hari sesudah surat keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan
itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta
sebagai ibukotanya.
Pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni
Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta
dengan RJ Katamsi Martorahardjo (7 Januari 1897-2 Mei 1973) sebagai
direkturnya yang pertama (sekaligus pendirinya), dengan beberapa bagian
pendidikan seni seperti Lukis, Patung, Pertukangan Kayu, dan Reklame.
Jurusan Reklame – yang merupakan cikal bakal pendidikan desain grafis –
saat itu masih menjadi satu dengan Jurusan Dekorasi, Ilustrasi dan
Grafik dan disebut dengan Jurusan 4 (empat) atau REDIG. Salah satu
mahasiswa pada awal jurusan ini yaitu
Soetopo Mangkoediredjo
lulus pada tahun 1955. Termasuk pendiri ASRI adalah Hendra, Kusnadi,
Sudarso dan Trubus sementara Affandi pernah tercatat sebagai salah satu
pengajar di perguruan ini.
Sumber:
Sejarah Seni Rupa Indonesia.

Sejarah ASRI bisa dibaca di sini >
Sejarah Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Dan mengenai
RJ Katamsi-Pendiri ASRI oleh Prof. Soedarso Sp MA.
MENGENAI RJ KATAMSI MARTORAHARDJO-PENDIRI ASRI
RJ Katamsi, yang semboyan dalam exlibrisnya adalah
ars longa vita brevis itu,
lahir di Karangkobar, Banyumas, pada tanggal 7 Januari 1897. Nama
lengkapnya, RJ Katamsi Martoraharjo, cucu dari R. Ng. Sastropermadi yang
konon berbakat melukis dan kalau benar demikian maka bakat itu menurun
kepada cucunya yang sesuai dengan judul di atas adalah pendiri Akademi
Seni Rupa Indonesia yang terkenal dengan singkatannya ASRI dan yang kini
menjelma menjadi Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Anak desa ini memiliki sejarah pendidikan yang menarik. Bermula dari
HIS (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Dasar Belanda untuk
orang-orang Pribumi) di Semarang, Kweekschool (Sekolah Guru Empat Tahun)
di Yogyakarta yang kemudian pindah ke sekolah guru Gunung Sahari di
Jakarta, dan sesudah itu mendapat kesempatan untuk meneruskan
pelajarannya di Negeri Belanda, bersekolah di Academie voor Beeldende
Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag dan mendapat ijasah Middelbaar
Onderwijs dalam menggambar (MO Tekenan), yang lebih kurang sama dengan
ijasah B-II Seni Rupa di Indonesia. Dengan ijasah itulah pada tahun 1922
Katamsi pulang ke Indonesia dan diangkat menjadi guru di MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Dasar yang diperluas, setingkat SMP
sekarang) dan AMS (Algemene Middelbare School, Sekolah Menengah Umum,
setingkat SMA) di Yogyakarta yang terkenal dengan nama AMS/B dan perlu
dicatat bahwa RJ Katamsi adalah orang Indonesia pertama yang dipercaya
menjadi direktur AMS ini. Jabatan sebagai direktur AMS/B tersebut
diteruskan sampai jaman Jepang yang sekolahnya berganti nama menjadi
Sekolah Menengah Tinggi (SMT).
Pada tahun 1935, masih di masa penjajahan Belanda, RJ Katamsi
mendapat tugas untuk membina tukang-tukang ukir perak di Kota Gede,
Yogyakarta, khususnya dalam hal penciptaan seni hias atau ornament. Di
masa pendudukan Jepang, RJ Katamsi mendapat
sampiran tugas dari
Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk juga menjabat sebagai Kepala Museum
Sonobudoyo (1942-1950). Di masa itulah RJ Katamsi menyerahkan sebagian
koleksi pribadinya yang berharga kepada museum untuk melengkapi
koleksinya.
Puncak pengabdian RJ Katamsi untuk negara dan seni budaya adalah
keberhasilannya mendirikan akademi seni yang pertama di Republik
Indonesia berkat bantuan para seniman dan budayawan di Yogyakarta.
Sebagaimana dimaklumi, pada tahun 1946, bersama dengan pindahnya ibukota
negara dari Jakarta ke Yogyakarta, hijrah pula para seniman ke ibukota
republik yang baru, Yogyakarta, yang dulu terkenal dengan nama
Ngayogyakarta hadiningrat. Maka berkumpulah di Yogyakarta tokoh-tokoh
seniman seperti Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan dan beberapa
lainnya.
Sebenarnya gagasan pendirian akademi seni rupa telah lama ada. Segera
setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, para seniman menghendaki
didirikannya suatu akademi kesenian yang dianggap sepantasnya ada di
suatu negara yang merdeka, apalagi bagi Indonesia yang kaya akan warisan
seni budaya itu yang akan dapat memelihara dan mengembangkan
bibit-bibit seniman di masyarakat. Di masa penjajahan tidak mungkinlah
hal itu dilaksanakan, apa lagi kalau mengingat bahwa lahirnya pendidikan
dasar pun adalah akibat dari
etische politiek dengan motto
“de Eereschuld”
atau “Hutang Kehormatan” nya Van Deventer (1899) yang juga didera oleh
kebutuhan akan tenaga kerja pribumi yang lebih murah. Maka di jaman
kemerdekaan, akademi kesenian mesti segera didirikan. Dari sisi
pemerintah, sesungguhnya sejak Mr. Suwandi yang lebih terkenal dengan
sistem ejaan Bahasa Indonesianya itu menjabat Menteri PP dan K, pada
prinsipnya sudah ada persetujuan, tetapi mengingat situasi dan kondisi
waktu itu, terwujudnya angan-angan ini baru beberapa tahun kemudian.
Nampaknya Kongres Kebudayaan Nasional di Magelang yang berlangsung pada
tanggal 20-25 Agustus 1948, dimana dengan suara bulat para peserta
memandang perlunya segera direalisasikannya ide tersebut merupakan
pendorong yang kuat, namun sekali lagi harus menelan pil pahit dengan
adanya Clash ke II yang menyetop segala kegiatan.
Baru menjelang akhir tahun 1949 usaha itu menghangat kembali ketika
Menteri PP dan K mengumpulkan tokoh-tokoh seni budaya yang ada di
Yogyakarta untuk merencanakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan
pendirian akademi seni rupa tersebut, yang segera disusul dengan
keluarnya pengangkatan Panitia Pendirian Akademi Seni Rupa, dengan RJ
Katamsi yang pada waktu itu menjadi Pemimpin Bagian Kebudayaan Jawatan
Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta bidang Pengajaran sebagai ketuanya.
Dengan dibantu oleh tokoh-tokoh seperti Djajengasmoro, Sarwono, Hendra
Gunawan, Koesnadi, Sindusisworo, Prawito dan Indrosugondho, panitia ini
harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Maka dalam
sidang-sidang persiapan itulah Katamsi yang sudah memasukkan
konsep-konsepnya kepada pemerintah sejak tahun 1947, membentangkan
idenya.
Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia didirikan yang
peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Ketergesaan
ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut
didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota negara. Sebagaimana
diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua belas hari sesudah surat
keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai
ibukotanya.
Begitulah, pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi
Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan
Yogyakarta dengan RJ. Katamsi sebagai direkturnya yang pertama.
Cita-cita berdirinya sebuah akademi seni sudah terlaksana, namun dari
sanalah dimulainya suatu pekerjaan besar, yaitu mengisi dan
mengembangkan bayi akademi yang baru lahir tersebut. Dalam pidatonya
pada hari peresmian itu RJ Katamsi selaku Direktur ASRI menyatakan
harapannya akan bantuan para peminat seni, para pengajar serta
jawatan-jawatan yang bersangkutan dan mengemukakan keyakinannya bahwa
dengan bantuan mereka itu “… kita akan dapat melaksanakan cita-cita
kita, yaitu membimbing barisan seniman-seniman baru yang dinamis dan
kreatif, yang benar-benar dapat menyumbangkan jiwanya yang berbakat
tinggi guna kepentingan perjuangan Nusa dan bangsa,…” Pekerjaan itu
besar dan berat kalau diingat bahwa semua kondisi pendukungnya sangatlah
lemah; pengalaman belum ada, sumber daya manusia sangat kurang kalau
tidak boleh dibilang tidak ada, gedung dan alat-alat sebagai perangkat
keras juga belum ada, begitu pun perangkat lunaknya. Semuanya harus
bermula dari titik nol, kecuali semangat yang menyala-nyala di setiap
dada tokoh-tokohnya. Katamsi harus bekerja keras memimpin barisannya
yang mengingatkan kita pada cerita dalam Injil (Mateus) di mana Kristus
bersabda, “… kalau yang buta memimpin yang buta, maka semuanya akan
terperosok ke dalam parit.”
Untung Katamsi tidak buta dan begitupun para dosen dan petugas yang
membantunya, tidak sama sekali buta. Walaupun tidak masuk dalam jurusan
seniman, keberadaan Katamsi di Academie voor Beeldende Kunsten tentulah
memberikan kepadanya pengalaman yang cukup tentang dunia itu, dan di
ASRI pun ada bagian guru gambar/seni rupa yang sama dengan yang
diikutinya di Den Hag. Para dosen pembantunya juga tidak sembarangan,
dosen ‘Anatomi’ nya adalah Dr. Martohusodo dan Dr. Radio-poetro, dosen
‘Sejarah Kebudayaan’ adalah Ki Padmopuspito yang sampai akhir hayatnya
juga mengajar matakuliah yang sama di Universitas Gajah Mada, dan mata
kuliah praktek studio dibina oleh seniman-seniman otodidak yang mumpuni
seperti Hendra, Affandi, Koesnadi, serta Soedjojono, dan sementara itu
Katamsi sendiri mengajar ‘Sejarah Kesenian’, ‘Perspektif’, dan
kadang-kadang juga ‘Proyeksi’ atau ‘Menggambar Bentuk’ yang dulu disebut
‘Stilleven’.
Ketidakakraban para tokoh pengelola awal ASRI Yogyakarta dengan dunia
pendidikan tinggi seni itu dapat terlihat dari caranya membuat
peraturan-peraturan akademik, pembuatan kurikulum, maupun nama-nama mata
kuliah seperti, ‘Opmeten’, ‘Reproduksi’, dan ‘Kekunoan’. Sementara itu
‘Ilmu Bentuk’ tidak pernah diajarkan di ASRI Yogyakarta dan ‘Estetika’
juga tidak tergarap dengan baik.
Karena belum memiliki gedung sendiri maka perkuliahan dilaksanakan di
banyak tempat dengan basis menumpang di gedung Pusat Tenaga Pelukis
Indonesia (PTPI) di Bintaran Lor 12b sebagai induknya dan tempat
perkuliahan serta studio bagian I/II, SMA-B Kotabaru dan di rumah beliau
di jalan Gondolayu 20 untuk Bagian IV dan V, dan di jalan Ngabean 5
(bekas gedung Kunst Ambachshool) serta jalan Bintaran 8 untuk bagian
III. Baru pada tahun 1957, setahun sebelum pensiun, Katamsi berhasil
memperoleh gedung
pre-fabricated dari Amerika Serikat yang bentuknya sama dengan banyak gedung SMA di Indonesia.
Gedung itu sekarang ditinggalkan oleh ISI Yogyakarta bersama dengan
kompleks Gampingan yang tanahnya merupakan hibah dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, Sayang. Bangsa Indonesia memang kurang hirau akan
sejarah, walaupun sekian puluh tahun yang lalu almarhum Presiden Pertama
RI sudah mengingatkan, jangan meninggalkan sejarah yang terkenal dengan
singkatannya “jasmerah”.
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa beliaulah peletak dasar
Akademi Seni Rupa Indonesia yang selain merintis kelahirannya juga
memimpinnya sebagai direktur pertama selama delapan tahun, dari tahun
berdirinya sampai masa pensiun di tahun 1958. Tambahan pula, walaupun
sudah pensiun, R. Katamsi masih tetap memberi kuliah baik di ASRI maupun
di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (Katamsi pula yang
menciptakan lambang Universitas Gajah Mada yang dipakai sampai kini).
Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1970, RJ Katamsi menerima anugerah
seni dari pemerintah yang diterimakan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan waktu itu dan sekalian tanda kehormatan Lencana karya Satya
Kelas II.
RJ Katamsi adalah perancang desain logo UGM (Universitas Gajah Mada) yang tetap dipakai hingga sekarang.
Dari sisi kehidupan pribadinya, RJ Katamsi kawin dengan nyonya Le Duc
(keturunan Belanda-Turki) dan karena sampai meninggalnya isteri
tersebut Katamsi tidak memperoleh keturunan, pada tahun 1965 RJ Katamsi
kawin lagi dengan seorang gadis bernama Rusilah yang sempat memberikan
dua orang putera kepada Katamsi.
Walaupun dimasa penjajahan Belanda RJ Katamsi mendapat gaji 400
gulden (lebih besar dari gaji seorang dokter Jawa), pada akhir hayatnya
boleh dibilang Katamsi tidak memiliki apa-apa. Namun Katamsi
legawa
dalam soal ini seperti kata-katanya, “…kalau seseorang bercita-cita
ingin menjadi kaya, lebih baik jangan menjadi guru.” Katanya lebih
lanjut, “Pahit getir, suka dan duka sudah saya alami selama 46 tahun
menjadi guru. Tetapi sungguh-sungguh senang. Walaupun selama 46 tahun
saya menjadi guru itu tidak menjadi orang yang kaya. Dan yang saya cari
memang bukan kekayaan, tetapi kepuasan. Saya sudah puas jika melihat
murid-murid saya menjadi orang ternama. Saya ikut bangga dan bersyukur
bahwa perjuangan saya tidak sia-sia.”
RJ Katamsi memang memiliki banyak murid yang menjadi seniman ataupun
tokoh terkenal. Dari masa AMS/B, RJ Katamsi menelorkan antara lain Mr.
Mohammad Yamin, Prof. Suwandi, dan Prof. Priyono yang ketiga-tiganya
pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan dari masa SMT, RJ
Katamsi berhasil melepas Drs. Radius Prawiro yang beberapa kali menjadi
menteri, Bambang Sugeng yang pernah menjadi KASAD, dan Sudarpo, seorang
pengusaha terkenal. Dari ASRI bermunculanlah Widayat, Saptohudoyo,
Saptoto, Frans Harsono, Hendrojasmoro, Abas Alibasyah, Abdulkadir,
Sutopo, Edhi Sunarso, Amri Yahya, dan masih banyak lagi.
Sumber:
RJ Katamsi-Pendiri ASRI
Surat Bung Karno untuk ASRI Yogyakarta, 1955. Dok: Kronika ASRI ke ISI Yogyakarta.
1959
Lahirnya Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sumber:
Sejarah Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
1960-1972
Logo mulai populer
Iklan-iklan produk konsumen tampak mengalami
kemandegan
kreativitas, khususnya dalam hal penulisan naskahnya. Bagian besar
rancangan produk iklan dalam negeri bertema “anjuran memakai” yang tidak
monoton. Kata-kata “pakailah selalu” senantiasa digunakan dalam setiap
teks iklan. Struktur verbal iklan masih tetap dipengaruhi oleh
iklan-iklan zaman kolonial. Bahkan mereka pun masih banyak menggunakan
istilah-istilah dari bahasa Belanda, seperti
Te Huur (sewa),
Barbier (cukur rambut),
Restaurant, atau
Te Koop (dijual). Kata-kata ini memang sering dijumpai diucapkan di radio, atau tertulis dalam kolom-kolom media cetak.
Secara visual pengaruh
“Hollandsch denken en Hollandsch inzicht”
(berfikir dan berpandangan ala Belanda) juga terasa sangat dominan.
Dalam iklan restoran atau hotel misalnya, selalu digunakan model seorang
berpakaian jas dan celana panjang putih, memakai peci dan sebuah serbet
yang tersampir di pundak kirinya, dalam posisi siap menerima perintah
tuannya, yang seorang Belanda pula. Atau visualisasi budaya Barat
lainnya, seperti penggunaan tokoh-tokoh Walt Disney dengan Mickey Mouse,
Donald Duck, Cinderella, Putri Salju dan sebagainya. Atau ilkan-iklan
keluarga tentang kelahiran dengan ilustrasi burung pelikan terbang
membawa bayi.
Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan besar sudah mulai berani
menggunakan sedikit teks, dan sekaligus menyadari pentingnya khalayak
sasaran mengenal logotype (ciri logo) produk-produk mereka. Sayangnya,
berbeda dengan teori periklanan, banyak produk ataupun merek baru yang
tidak menyatakan kebaruannya dalam iklan-iklan mereka. Di samping itu,
nuansa yang tercipta dari iklan-iklan tersebut hampir seluruhnya hanya
untuk tujuan penjualan (
sales) semata.
Populernya penggunaan logo sebagai identitas suatu produk atau merek,
membawa bisnis baru untuk perusahaan periklanan dari kliennya. Yaitu
merancangkan logo yang sesuai dengan jenis, kepribadian dan citra produk
yang ingin dikembangkan produk-produk tersebut.
Beberapa perusahaan bahkan meminta perusahaan periklanannya untuk juga menguruskan nomor pendaftaran (
gedeponeerd) merek atau logo produk mereka tersebut di Kantor Pendaftaran Merk Dagang.
Membanjirnya kebutuhan mendaftarkan merek ini tidak seimbang dengan
kesadaran mereka beriklan, memasyarakatkan logo-logo tersebut. Situasi
ini membawa dampak di bidang hukum. Karena saat itu ternyata muncul
banyak logo yang mirip satu sama lain. Akibatnya, justru mereka akhirnya
merasa perlu memuat iklan-iklan pengaduan, atau sekedar menjelaskan
tentang perbedaan logo produknya dengan yang milik perusahaan lain.
Beberapa di antara mereka yang mirip logonya dan memuat iklan pengumuman
ini, bahkan sama-sama pula belum terdaftar.
Sumber:
“Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab V, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Realisme Sosialis
Tahun 1960-an, ruang publik didominasi gaya realisme sosialis,
termasuk baliho, poster dan media cetak lainnya. Realisme sosialis
adalah pegangan resmi para seniman anggota Lekra yang di bawah patronase
Partai Komunis Indonesia (PKI), merupakan organisasi dan gerakan yang
terkuat di kalangan seniman Indonesia antara akhir 1950-an sampai dengan
pertengahan 1960-an. Ketika itu asas realisme sosialis hendak
diberlakukan bagi semua ekspresi kesenian dan pemikiran di Indonesia.
Manifes Kebudayaan disusun dan diumumkan sebagai reaksi terhadap
realisme sosialis. Yang ditentang Manifes Kebudayaan adalah asas
“politik sebagai panglima” yang dalam prakteknya berarti kekuasaan
politiklah – tepatnya partai – yang mengendalikan kesenian.
1962
Jurusan Seni Reklame dan Propaganda
Pada tahun 1962 Reklame berpisah dengan REDIG dan menjadi jurusan
tersendiri dengan nama Jurusan Reklame (1962–1968) dengan Ketua Jurusan
yang pertama Dr. HC. R.M. Sapto Hoedojo. Situasi politik era Demokrasi
Terpimpin di bawah Panglima Besar Revolusi (PBR) Ir. Soekarno yang
mencanangkan gerakan anti Neo Kolonialisme dengan propaganda Indonesia
sebagai Neo of Force Asia, membawa situasi nama Jurusan Reklame
sementara sempat berubah menjadi Jurusan Seni Reklame dan Propaganda,
sampai akhirnya ditetapkan dengan nama Jurusan Seni Reklame pada akhir
tahun 1968.
Ketua Jurusan Seni Reklame STSRI ASRI, Yogyakarta Soetopo
Mangkoediredjo bersama staf pengajar, paling kiri: Lie Djien An, kedua
dari kanan: Margono dan paling kanan: Parsuki.
1967
Jurusan Seni Rupa FTSP ITB membuka Studio Grafis. Pada saat itu, kurikulum desain dan seni masih bersatu.
1967
PERINTIS PERIKLANAN MODERN
Orde Baru ternyata cukup sigap mengembalikan kestabilan politik dan
ekonomi dalam negeri. Selain berupaya keras mengendalikan inflasi,
Pemerintah juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi baru.
Konfrontasi dengan negara-negara liberal pun lambat-laun dihapuskan dan
membuka lagi peluang bagi perdagangan luar-negeri yang lebih terbuka dan
dinamis. Lebih lagi setelah Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) disahkan, telah sangat merangsang investasi dalam negeri dan
menjamin adanya kepastian berusaha.
Di tahun 1967, tahun yang sama dengan dikeluarkannya Undang-undang
PMDN tersebut, di Jakarta lahir perusahaan periklanan InterVista Ltd.
Inc., yang didirikan dan dikelola oleh Nuradi (10 Mei 1926-8 Juni 2009).
InterVista dianggap sebagai perintis periklanan modern di Indonesia.
InterVista pula yang dianggap menjadi perusahaan periklanan pertama yang
beroperasi dalam kapasitas pelayanan periklanan menyeluruh (
full service advertising agency).
Setahun setelah diundangkannya Undang-undang PMDN, dikeluarkan pula
Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengatur tata cara
penanaman modal asing di Indonesia. Undang-undang ini bukan saja memberi
jiwa keterbukaan pada masuknya modal asing, tetapi juga telah lebih
merangsang lagi peningkatan investasi di Indonesia. Undang-undang PMA
ini bahkan memberi dampak langsung pada peningkatan tajam bisnis
periklanan. Investasi oleh para pemodal asing rupanya membawa
konsekuensi lain bagi periklanan. Para pemodal ini yang umumnya sudah
terbiasa dengan sistem perekonomian dan perdagangan liberal, rupanya
menuntut adanya pula sarana promosi dan periklanan yang baik di
Indonesia*.
Sebagai perusahaan periklanan modern. InterVista juga tercatat aktif dalam membantu kampanye-kampanye pemasaran sosial (
social marketing) atau periklanan layanan masyarakat (
public service advertising). Kampanye-kampanye ini merupakan sesuatu ayng baru bagi masyarakat Indonesia di masa itu.
Salah satu karya besar InterVista yang bahkan tetap digunakan hingga
saat ini adalah Kartu Menuju Sehat. Sebuah petunjuk sangat praktis bagi
para ibu untuk memeriksa dan merawat kesehatan bayinya.
Munculnya InterVista rupanya menjadi katalis bagi lahirnya banyak
lagi perusahaan periklanan modern di Indonesia. Bahkan tahun 1969
berdiri pula Benson SH Ltd., perusahaan periklanan pertama yang
berafiliasi dengan perusahaan periklanan asing di Indonesia. Perusahaan
periklanan ini tadinya sekedar merupakan afilasi dari perusahaan yang
sama di Singapura, tetapi kemudian dikembangkan menjadi afiliasi
langsung dengan perusahaan periklanan induknya di New York dan berubah
nama menjadi Ogilvy Benson & Mather Indonesia. Selanjutnya karena
ada peraturan yang tidak mengizinkan perusahaan periklanan asing
Indonesia, perusahaan ini mengubah statusnya menjadi perusahaan
Indonesia, sekaligus mengganti namanya menjadi PT Indo Ad**.
* Para praktisi periklanan umumnya berpendapat ada hubungan
langsung antara aspek -aspek investasi, dan periklanan dalam arti yang
luas. Karena itu, tuntutan para investor asing ini tentu saja wajar
untuk mengamankan investasi mereka,dengan meningkatkan efisiensi
produksi (mencapai tingkat skala ekonomi tertentu) dan dengan dukungan
promosi dan periklanan menjamin tercapainya sasaran-sasaran pemasara
barang atau jasa yang mereka hasilkan.
** Ogilvy Benson & Mather Internasional kemudian berubah nama
menjadi Ogilvy & Mather. Saat terbentuknya Indo Ad, Ogilvy &
Mather merupakan perusahaan internasional dengan kantor afiliasi
terbanyak di dunia dan dalam hal omset, No. 6 terbesar di luar Jepang.
Sumber:
“Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab VI, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Nuradi, perintis periklanan modern Indonesia.
Riwayat Hidup Nuradi
Nuradi (10 Mei 1926-8 Juni 2009) lahir di Jakarta.
Antara tahun 1946-1948 masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Darurat).
1949 -1950 mengikuti Akademi Dinas Luar Negeri RI. Tahun-tahun
berikutnya dia mengikuti berbagai pendidikan nonformal di Amerika
Serikat dan menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign
Service Institute, US State Department, Washington DC.
1952-1954 menyelesaikan studi bidang adminsitrasi publik di Harvard
University, Cambridge, Massachusetts. Selama setahun kemudian dia
belajar bahasa di Universitas Sorborne dan Besancon, Perancis. Nuradi
juga pernah menjadi penyiar siaran bahasa Inggris di RRI, dan menjadi
juru bahasa pribadi untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir, H. Juanda.
Jabtan lain adalah kepala bagian penerjemah pada delegasi Indonesia di
Konperensi Meja Bundar di Den Haag, serta menjadi anggota perwakilan
tetap Indonesia di Uni Soviet. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar
Negeri tahun 1957.
Kiprah Nuradi di bidang periklanan berawal tahun 1961-1962, saat dia
mengikuti Management Tarining Course di SH Benson Ltd., London, sebuah
biro iklan terbesar di Eropa saat itu. Pengetahuan teoritis ini kemudian
dia lengkapi dengan keterampilan praktis melalui cabang perusahaan ini
di Singapura. Tahun 1963 dia kembali ke Jakarta dan mendirikan
InterVista Advertising Ltd., biro iklan modern pertama di Indonesia.
Di tahun itu juga, dan melalui InterVista, Nuradi merintis periklanan
komersial pertama di TVRI. Hotel Tjipajung, produsen alat berat dan
truk PT Masayu, dan PT Arschoob Ramasita merupakan tiga pengiklan
pertama yang menayangkan telop iklan di media elektronik tersebut. Se
tahun kemudian, materi iklan menggunakan slaid yang pertama muncul untuk
produk skuter Lambretta. Iklan produk ini juga menjadi yang pertama
tampil sebagai iklan komersial di bioskop-bioskop di Indonesia.
Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru pada kekokohannya
pada akar budaya Indonesia. “Ideologi” itu memang terungkap pada banyak
pesan periklanan InterVista yang naskahnya kerap ditulis sendiri oleh
Nuradi. Bahasa yang sederhana namun baku, merupakan ciri naskah-naskah
iklan InterVista. “Indomilk sedaaap”, “Ini bir baru. Ini baru bir”,
“Makin mesra dengan Mascot”, dan “Lebih baik naik Vespa” adalah contoh
slogan-slogan periklanan yang amat populer hingga awal 1980.
Nuradi memang patut berbangga dengan prestasinya, karena hingga tahun
1970-an ia berhasil membawa InterVista sebagai biro iklan yang amat
disegani, menyaingi biro-biro iklan afiliasi asing seperti Lintas
(sekarang Lowe) dan Indo Ad (sekarang Ogilvy).
Baty Subakti (disadur dari buku Sejarah Periklanan Indonesia, Baty Subakti dkk.)
1969
Pada tahun 1969 Fakultas Teknik Universitas Trisakti membuka
Departemen baru yaitu Departemen Seni Rupa, dengan kepala Departemennya
Drs Soekarno.
1969-1971
AD Pirous
belajar di RIT (Rochester Institute of Technology), Amerika Serikat
untuk menjajagi kemungkinan dibukanya Program Studi Desain Grafis di
ITB.
AD Pirous lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Sejak 1964 sampai
dengan 2002, AD Pirous bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Seni
Rupa dan Desain ITB. AD Pirous pernah menjabat sebagai dekan pertama di
fakultas ini pada tahun 1984. Memperoleh posisi Guru Besar pada 1994, AD
Pirous mencatatkan prestasinya sebagai salah seorang perintis seni rupa
Islam modern di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri bidang studi
Desain Grafis yang berlanjut menjadi bidang Desain Komunikasi Visual di
ITB. Seusai masa baktinya pada dunia akademik di ITB, AD Pirous tetap
mengabdikan dirinya sebagai pelukis dan cendekiawan senior di bidang
seni rupa dan kebudayaan.
1970
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) didirikan, membawahi Akademi Seni Rupa, Akademi Seni Tari dan Akademi Seni Teater.
Pada tahun 1976 untuk memenuhi persyaratan sebuah perguruan tinggi,
nama LPKJ kemudian diubah menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
1973
Jurusan Seni Rupa FTSP ITB dimekarkan dengan menambah Program Studi
Desain Tekstil dan memecah Studio Grafis menjadi Program Studi Desain
Grafis dan Seni Grafis. Tahun 1973, Program Studi Desain Grafis
melepaskan lulusan pertamanya, yaitu empat mahasiswa studio grafis yang
membuat tugas akhir berupa proyek desain grafis. Para lulusan pertama
dari studio ini adalah Indra Abidin, Markoes Djajadiningrat, Teddy Sam
Natasasmita dan Priyanto Sunarto.
Markoes Djajadiningrat, Teddy Sam Natasasmita dan Priyanto Sunarto
juga adalah anggota IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) ketika
organisasi pertama di bidang desain grafis ini didirikan pada tahun
1980.
Dari atas ke bawah: Indra Abidin, Markoes Djajadiningrat, Priyanto Sunarto.
1974
Dunia seni rupa, terutama di STSRI “ASRI”, dan juga FSRD ITB,
diguncang oleh terjadinya peristiwa Desember Hitam yang pecah di ujung
tahun 1974 akibat protes yang dilayangkan oleh para mahasiswa yang
kritis atas pemberian penghargaan oleh Dewan Juri Pameran Besar Seni
Lukis Indonesia kepada lima orang pelukis (AD Pirous, Aming Prayitno,
Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah) karena karya-karya tersebut dianggap
bercorak ragam sama, yakni dekoratif dan lebih mengabdi demi kepentingan
“konsumtif”.
Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979, 1987)
Peristiwa Desember Hitam itu menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan
Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang menghantarkan dunia seni
rupa Indonesia melahirkan pemahaman baru atas persoalan ideologis
kesenian; konsepsi estetika dunia seni rupa;
subject matter; batasan-batasan akademik, hingga menyentuh persoalan-persoalan interpretasi subjektivitas (
Seni Grafis Yogyakarta dalam Wacana Seni Kontemporer, Wiwik Sri Wulandari, 2008, halaman 101-102).
Salah satu konsep GSRB adalah meniadakan batasan antara seni murni
dan seni terapan (baca: seni tidak murni), dan semua fenomena kesenian
termasuk desain pun kemudian dianggap sederajat.
Sepanjang perjalanannya, eksponen GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lain
FX Harsono,
Syahrinur Prinka (1947-2004),
Wagiono Sunarto,
Priyanto Sunarto,
Gendut Riyanto (1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.
Pada tahun 1979 Gerakan Seni Rupa Baru membubarkan diri, tetapi sempat dihidupkan kembali pada tahun 1987.
Dari atas ke bawah: FX Harsono, Syahrinur Prinka, Wagiono Sunarto.
1976
Pemisahan Above The Line (ATL) dan Below The Line (BTL)
Matari Advertising merintis pemisahan studio desain iklan (khusus
ATL) dan studio desain grafis (khusus
BTL).
Tercatat pada periode ini Tjahjono Abdi sebagai desainer iklan dan
Hanny Kardinata sebagai desainer grafis. Pada periode berikutnya,
sebagai desainer grafis FX Harsono dan Gendut Riyanto.
Dari atas ke bawah: Ken Sudarto (pendiri Matari Advertising, juga
salah seorang tokoh perintis periklanan modern Indonesia), Tjahjono
Abdi, Hanny Kardinata.
1977
Penggunaan istilah desain komunikasi visual
Gert Dumbar, seorang desainer grafis Belanda memperkenalkan istilah
semiotika dan komunikasi visual di FSRD ITB. Menurutnya, desain grafis
tidak hanya menangani desain untuk percetakan tetapi juga
moving image,
display dan pameran. Sejak tahun 1979, istilah desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah desain grafis.
1978
Program Pengutamaan Studi Desain Grafis, Jurusan Seni Rupa di Universitas Trisakti diadakan.
1979
ASRI pada periode ini berubah status dan nama lembaga menjadi Sekolah
Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI” atau disingkat menjadi STSRI “ASRI”.
Menjelang dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan seiring dengan
diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) oleh Dr. Daud Joesoef
maka nama Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain
Komunikasi.
1980
Pameran desain grafis pertama di Indonesia
Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus
Huis, jalan Menteng Raya 25, Jakarta diselenggarakan pameran desain
grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia: Hanny Kardinata, Gauri
Nasution dan Didit Chris Purnomo, bertajuk “Pameran Rancangan Grafis ‘80
Hanny, Gauri, Didit”. Pameran ini tercatat sebagai pameran desain
grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis
Indonesia (
Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit – Mau Merubah Dunia,
Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Pameran ini membawa
misi memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas, dan agar
karya desain grafis diapresiasi sebagai karya seni.
Atas: Logo “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”.
Bawah: Foto diambil dari poster “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny,
Gauri, Didit”. Ki-ka: Didit Chris Purnomo, Hanny Kardinata, Gauri
Nasution.
Sumber:
“Hubungan Rancangan Grafis dengan Seni Copet” oleh Johannes Tan, Brosur “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”.
“Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit” oleh Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6.
“Informatif, Juga Indah” oleh Priyanto Sunarto.
Beberapa karya yang dipamerkan:
Hanny Kardinata, Ilustrasi dengan teknik kuas kering (dry brush)
untuk materi pergelaran perdana Guruh Soekarnoputra bersama Swara
Maharddhika, 1979.
Gauri Nasution, Music Album Cover, Keenan Nasution-Dibatas Angan-Angan, 1978.
1980
Organisasi desain grafis pertama di Indonesia
Logo IPGI hasil coretan tangan Sadjiroen, desainer uang Indonesia.
Organisasi desain grafis pertama di Indonesia terbentuk pada tanggal
25 April 1980 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama
Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersamaan dengan
diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk “Grafis ‘80” di Jakarta
yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra
Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta.
Brosur – sekaligus poster – pameran Grafis ’80, dirancang oleh Tjahjono Abdi.
Badan Pendiri yang terdiri dari 9 orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto
Martosuhardjo, Soedarmadji JH Damais, Bambang Purwanto, Chairman,
Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J Leonardo N merumuskan program kerja
dan membentuk pengurus sementara dengan susunan sebagai berikut:
Ketua: Wagiono Sunarto
Wakil Ketua: Karnadi Mardio
Sekretaris 1: Didit Chris Purnomo
Sekretaris 2: J Leonardo N
Bendahara: Hanny Kardinata
Dibantu beberapa koordinator bidang:
Pameran: FX Harsono, S Prinka
Publikasi dan Buletin: Tjahjono Abdi
Hubungan Masyarakat: Agus Dermawan T
Dokumentasi dan Perpustakaan: Helmi Sophiaan
Pendidikan dan Ceramah: Hanny Kardinata
Ki-ka (belakang): Hanny Kardinata, S Prinka, Wagiono Sunarto,
Karnadi Mardio, FX Harsono, dan di depannya: Suyadi ‘Pak Raden’,
Priyanto Sunarto dan Tjahjono Abdi beserta mahasiswa-mahasiswa DKV
Trisakti di depan pintu masuk Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34,
Jakarta, di mana pameran Grafis ’80 diadakan.
Sumber:
Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
Dari atas ke bawah: Joop Ave dan Soedarmadji JH Damais, yang bersama AD Pirous merupakan trio penasehat IPGI.
Atas: Agus Dermawan T, Departemen Hubungan Masyarakat IPGI yang
pada saat IPGI berdiri masih bekerja sebagai desainer grafis majalah
remaja “Gadis”.
1980
Akhir 1970 dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis
yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro
iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain
non-iklan, beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi Mardio), Grapik
Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto
Sunarto), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi dan Hanny Kardinata) dan GUA
Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya sudah ada design center
Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh AD Pirous, T
Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih mengandalkan pada disiplin
seni grafis juga menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul
buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung.
Periode awal 1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain
grafis yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX
Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef),
Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), dan di Bandung: Zee
Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes
Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja dkk), dll.
Dari atas ke bawah: Karnadi Mardio, Gauri Nasution, T Sutanto, Riswanto (Iwan) Ramelan, Indarsjah Tirtawidjaja.
Pada masa ini, studio mana pun ‘dituntut’ bisa mengerjakan pekerjaan
apa pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai
kepada ilustrasi sampul kaset, desainer bak
superman atau
superwoman. Studio grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup.
Ilustrasi menggunakan teknik
air brush, dengan gaya
hyper-realism
dan Pop Art menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan
ilustrasi di dunia maju (majalah “Tempo” dan “Zaman” adalah dua
penerbitan yang mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya).
Air brush gun,
pensil, kuas, cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok
Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja
desainer waktu itu.
Salah satu desainer yang mempopulerkan aliran Pop Art dengan teknik
air brush
adalah Tony Tantra. Tony Tantra menggunakan media kaos yang dijualnya
di Bakungsari, Kuta, pada akhir 80an, dengan label “Tony Illustration”.
Tony, bersama Harris Purnama dan Gendut Riyanto dulunya pengisi rubrik
Pop Art di majalah Aktuil dengan editor tamu Jim Supangkat.
Sumber:
Say it with Oblong
MENGENAI MAJALAH ZAMAN
Majalah Zaman, Mingguan untuk Seluruh Keluarga, bolehlah disebut
sebagai “mimesis” (dalam arti luas) majalah Boss. Edisi Perdananya
terbit pada minggu ke-II, September 1979, tetapi menggunakan SIT (Surat
Ijin Terbit) bertanggal 31 Desember 1973 dengan keterangan: Untuk
melanjutkan penerbitan MM Boss.
Edisi Perdana Zaman dibagikan secara gratis. Baru pada edisi No.
1/Thn I, Minggu I, Oktober 1979, majalah ini dijual dengan harga Rp.
250,-. Diterbitkan oleh Yayasan Bapora bekerjasama dengan PT Grafiti
Pers, Penerbit Majalah TEMPO (waktu itu).
Dalam perjalanannya, di majalah ini berkumpul para seniman dan
budayawan yang sudah tak asing lagi namanya di Indonesia, misalnya
Danarto, Jim Supangkat, Nano Riantirano, Sori Siregar, Seno Gumira
Ajidarma, Ananda Moersid, dan lain-lain. Pemimpin Redaksi: Goenawan
Mohamad. Redaktur Pelaksana: Putu Wijaya.
Majalah Zaman ditutup oleh “Tempo” pada 1985. Lalu pada tahun berikutnya “Tempo” menerbitkan majalah baru: MATRA (Agustus 1986).
Sumber: Koleksi K Atmojo:
Majalah Lama: “Zaman” Edisi Perdana & No. I/Thn I Oktober 1979
1983
Pada tanggal 22-31 Agustus 1983, bekerjasama dengan Dewan Kesenian
Jakarta, IPGI menyelenggarakan pamerannya yang kedua yang digelar di
Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”.
Sumber:
Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
Ilustrasi karya Tjahjono Abdi yang menghiasi materi pameran (brosur, poster dsb.) Grafis ’83.
1984
Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) diresmikan
Bidang studi seni rupa maupun desain mengalami perkembangan yang
pesat karena tuntutan kebutuhan dari masyarakat, maka pada tahun 1984 di
ITB Jurusan Seni Rupa ditingkatkan menjadi fakultas tersendiri dengan
nama Fakultas Seni Rupa dan Desain yang mencakup tiga jurusan, yaitu:
Jurusan Seni Rupa Murni, Jurusan Desain dan Jurusan Mata Kuliah Dasar
Umum (MKDU).
FSRD ITB diresmikan pada tahun 1984 setelah mengalami sejarah
perkembangan yang panjang sejak 1 Agustus tahun 1947 sebagai Balai
Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan
Teknik Universitas Indonesia di Bandung.
1984
Desain komunikasi visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Pada pertengahan tahun 1984, terjadilah perubahan besar dalam sistem
penyelenggaraan pendidikan seni, sehingga setelah menjalani perencanaan
panjang sejak 1973 dengan ide penggabungan 3 (tiga) lembaga: STSRI
“ASRI”, AMI, dan ASTI, maka disatukanlah ketiga lembaga dengan nama
Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tanggal 23 Juli 1984. Perubahan
status dari sekolah tinggi menjadi institut membawa konsekwensi
perubahan lembaga jurusan. Yang tadinya satu jurusan membidangi 1 (satu)
program studi, maka kini jurusan membawahi kewenangan pengelolaan
administrasi 2 (dua) program studi. Dengan demikian nama baru jurusan
Disain Komunikasi menjadi Program Studi Disain Komunikasi Visual.
ISI Yogyakarta dibentuk atas Keputusan Presiden RI No: 39/1984
tanggal 30 Mei 1984, dan diresmikan berdirinya oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, pada tanggal 23 Juli
1984.
1987
Pada tanggal 16 Desember 1987 Soetopo Mangkoediredjo menerima
“Anugerah Pariwara” Indonesia yang pertama dari Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P3I) Pusat, yang disampaikan oleh Menteri
Penerangan Republik Indonesia, H. Harmoko.
1987
Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987
Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam
Negeri (UP3DN) bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) mengadakan sayembara
cipta poster dan stiker yang bertujuan untuk meningkatkan citra produksi
dalam negeri dan mendorong masyarakat untuk lebih percaya dan
menggunakan produksi dalam negeri.
Lomba dengan hadiah terbesar sepanjang sejarah itu telah menghasilkan
jumlah entries sebanyak 313 poster dan 278 stiker, jumlah yang luar
biasa mengingat masih terbatasnya profesi desainer grafis pada masa itu.
Sayang lomba tersebut telah ternodai oleh diketemukannya fakta bahwa
karya pemenang pertamanya merupakan hasil jiplakan dari sebuah desain
dari Amerika. Pemenang pertama lomba poster pun dibatalkan dewan juri
(Kompas 11 Desember 1987) dan keputusan baru diumumkan eksplosif lewat
konferensi pers, 12 Desember 1987:
Pemenang lomba poster:
Juara I: Hanny Kardinata, Jakarta, judul: “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”
Juara II: Gatot Widro, Jakarta, judul: “99% Buatan Sendiri. 1% Boleh Luar Negeri”
Juara III: Dadang Kreshnadi, Bandung, judul: “‘Menghargai’ Karya Bangsa Sendiri Kunci Pembangunan”
Pemenang lomba stiker:
Juara I: Aten Waluya, Bandung, judul: “Satu Pilihanku, Buatan Indonesia”
Judul II: Dicky Mulyadi, Jakarta, judul: Buatan Indonesia”
Juara III: Abub Luthfy H, Jakarta, judul: “Patriot Pembangunan, Cinta Produksi Dalam Negeri”
Karya-karya terpilih kemudian dibukukan dan beberapa karya yang menang dicetak oleh negara dalam jumlah ratusan ribu eksemplar.
Hanny Kardinata, Poster Sosial Kampanye Produksi Indonesia “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”, 1987
Sumber:
Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987
1988
Pada tanggal 9-15 Februari 1988, bekerjasama dengan JAGDA (Japan
Graphic Designers Association), IPGI menyelenggarakan pameran Grafis
Jepang-Indonesia yang pertama, yang diadakan di Galeri Ancol, Pasar Seni
Ancol, Jakarta. JAGDA menghadirkan 196 poster karya terbaru lebih dari
100 desainer terkemuka Jepang, diantaranya Yusaku Kamekura, UG Sato,
Shigeo Fukuda, Shin Matsunaga, Ikko Tanaka, Kazumasa Nagai, Hiroshi Sato
dan banyak lagi. Pameran kemudian dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan
Ganesha 10, Bandung.
Sumber:
Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
Ilustrasi karya Tjahjono Abdi yang menghiasi materi (brosur, poster dsb.) pameran pertama IPGI-JAGDA.
Beberapa karya yang dipamerkan:
FX Harsono, Poster, “Opera Kecoa”, 1985.
1989
Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang kedua bertajuk “Grafis ‘89”
diselenggarakan berturutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret di Gedung
Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka
Timur 14, Jakarta; tanggal 12-20 April 1989 di Yayasan Pusat Kebudayaan,
jalan Naripan, Bandung dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus Institut
Seni Indonesia di jalan Gampingan, Yogya. Pada tanggal 29 Maret 1989,
Shigeo Fukuda yang didatangkan dari Jepang menjadi pembicara dalam
sebuah ceramah di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2,
Jakarta.
Sepanjang perjalanannya tercatat nama-nama desainer yang telah ikut
berpameran dalam pameran-pameran yang diselenggarakan oleh IPGI yaitu
Achmad Rumyar, Achmad Sadimin, Agoes Joesoef, Bambang Bargowo, Bambang
Purwanto, Bambang Sidharta, Bambang Trenggono, Deddy Budiman, Dicky
Mulyadi, Didit Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Budi Mandiro, Chairin
Hayati Joeda, Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen
Saptohadi, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, Gendut Riyanto, GM Sudarta,
Hanny Kardinata, Harianto IR, Indarsyah, J Leonardo N, Karnadi Mardio,
Lesin, Markoes Djajadiningrat, Mulyadi W, Piet Hari Santosa, Pramono,
Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Sita Subijakto, Slamet Sugiyanto, Suyadi
‘Pak Raden’, Suyono Palal, S Prinka, Tarmizi Firdaus, T Ramadhan Bouqie,
Teddy Sam Natasasmita, T Sutanto, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto, Wendy
Bari dan Yusuf Razak.
Sumber:
Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
Lesin, Poster, “Grafis ’89”, 1989.
1992
JADEX‘92
Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga
menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo‘92” atau
“JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September
1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni
patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain
interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana,
desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’
dalam sebuah pameran besar.
Anggota-anggota IPGI yang ikut serta dalam pameran ini adalah Aten
Waluya, Bambang Sidharta, Donny Rachmansjah, Gauri Nasution, Hanny
Kardinata, Iman Sujudi, Lessy Sebastian, Priyanto Sunarto, T Ramadhan
Bouqie, Tjahjono Abdi dan Yongky Safanayong.
1993
Forum KMDGI (Kriyasana Mahasiswa Desain Grafis Indonesia) pertama di Universitas Trisakti, jakarta
Forum KMDGI berdiri sejak tahun 1993 – diadakan setiap dua tahun
sekali di perguruan tinggi yang berbeda – merupakan forum untuk
berkumpul, bertukar pikiran, berdiskusi dan apresiasi konsep
kekaryaan/konsep kreatif antar mahasiswa desain grafis se Indonesia.
KMDGI pertama kali diadakan di Universitas Trisakti, pada tanggal
10-13 September 1993 diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Desain
Universitas Trisakti. Para peserta delegasi yang mengikuti acara
tersebut adalah perwakilan dari tiga universitas yaitu dari Universitas
Sebelas Maret Surakarta (Solo), Universitas Trisakti (Jakarta),
Universitas Udayana (Bali) dan tiga institut yaitu ISI (Yogyakarta), ITB
(Bandung), IKJ (Jakarta).
13 Desember 1994
Universitas Pelita Harapan didirikan oleh Yayasan Universitas Pelita
Harapan. Jurusan DKV berada di bawah Fakultas Teknik dan Perencanaan.
1994
Studio Desain Grafis ITB berubah menjadi Studio Desain Komunikasi Visual.
1994
IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia)
Kongres pertama IPGI diadakan di Jakarta Design Center pada tanggal 7
Mei 1994. Di dalam konggres ini diresmikan penggantian nama IPGI
menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) serta serah terima
jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan,
Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution),
pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis.
Sumber:
Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
1996
Program Studi Desain Grafis di Universitas Trisakti menjadi Program
Studi Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa dan
Desain.
1997
Studio Desain Komunikasi Visual menjadi Program Studi Desain Komunikasi Visual di bawah departemen Desain FSRD ITB.
1998
22 Januari 1998: Kurs rupiah menembus 17.000,- per dolar AS
Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu
mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat.
Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan
perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan.
Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga
insolvent
atau nota bene bangkrut. Sektor yang paling terpukul terutama adalah
sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan
gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari hantaman
krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar dari klien
mereka berasal dari sektor perbankan, konstruksi dan manufaktur. Hanya
studio kecil (terdiri atas dua atau tiga orang) yang selamat, karena
overhead juga kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa memangkas drastis jumlah stafnya.
1998
15 Oktober 1998
Dibentuk sebuah tim persiapan oleh Rektor Universitas Bina Nusantara,
[Alm.] Dr. Th. Widia Soerjaningsih untuk membangun sebuah jurusan Desain
Grafis Universitas Bina Nusantara.
22 Oktober 1998
Jurusan Desain Grafis Universitas Bina Nusantara resmi berdiri di bawah naungan Fakultas Teknik.
Sumber:
Sejarah DKV Binus University.
1998
DKV UK Petra berdiri.
Sumber:
Sejarah DKV UK Petra.
Desember 1998
Berdirinya Taring Padi (Teeth of the Rice Plant)
Sekelompok anak muda yang menamakan diri Lembaga Budaya Kerakyatan
Taring Padi memanfaatkan grafis sebagai seni publik untuk gerakan moral
dan penyadaran. Mereka membuat poster-poster dengan teknik cukil kayu
dan memajangnya di dinding-dinding kota, dinding kantor pemerintah,
dinding rumah penduduk, dan di tempat-tempat lain yang dengan gampang
ditatap orang.
Menurut ketuanya, Tony Voluntero, Taring Padi (TP), yang bermarkas di
antara puing-puing bangunan bekas kampus ISI Gampingan itu (sekarang di
daerah Bantul, Yogyakarta), juga memiliki kontak dengan puluhan LSM di
berbagai kota gesar dan luar negeri. Selain membuat seni publik berupa
poster-poster kemanusiaan, TP juga berperan dalam banyak kegiatan
demonstrasi, serta membantu membuat karya instalasi dan
performance art untuk aksi unjuk rasa.
Tujuan berdirinya kelompok ini jelas yakni menggunakan ruang publik
untuk mempresentasikan karya-karya mereka. Sebuah pilihan ruang yang
egaliter dan paling demokratis dengan harapan karya-karya dapat lebih
mudah dikomunikasikan kepada masyarakat. Targetnya muncul kesadaran dan
sikap kritis. Sehingga pada prakteknya, kelompok Taring Padi banyak
memuntahkan persoalan-persoalan yang dialami masyarakat sekarang.
Taring Padi menyukai dialog dalam setiap proses karya mereka.
Artinya, mereka melakukan strategi komunikasi agar masyarakat memahami
karya mereka.
Poster-poster Taring Padi terkenal tanpa tedeng aling-aling.
Parodinya kadang kasar, menggambarkan pertentangan kelas dengan cara
hitam-putih, misalnya, kapitalis versus buruh, orang kaya versus orang
melarat, dan cukong-cukong versus petani. Kalimat-kalimat sering berupa
jargon-jargon anti-imperialis. Seluruh poster Taring Padi dikerjakan
secara kolektif – tidak atas nama individual.

Sumber:
Setengah Abad Seni Grafis Indonesia.
20-21des 10 Tahun Senirupa Kerakyatan ‘Taring Padi’
Posters by Taring Padi (Indonesia).
Posters (2000-2009).
Teeth of the Rice Plant (Taring Padi).
1999
02 September 1999
Program Studi Desain Grafis Universitas Bina Nusantara dipimpin oleh
seorang Ketua Jurusan dibantu oleh seorang Sekretaris Jurusan dengan
tiga orang Dosen Koordinator Bidang Ilmu. Angkatan I Desain Grafis
Universitas Bina Nusantara yang berjumlah 153 mahasiswa memulai
aktivitas perkuliahan hari pertama.
Ketua Jurusan: Yongky Safanayong
Sekretaris Jurusan: Dyah Gayatri
Dosen Kordinator Bidang Ilmu: Lintang Widyokusumo, Mita Purbasari, Vera Jenny Basiroen
24 Agustus 1999
Dibentuk perwakilan mahasiswa Desain Grafis yang terdiri dari 11 orang dengan nama Formatur 11 (F 11).
Tujuan utamanya adalah membentuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
5 Desember 1999
Program studi Desain Komunikasi Visual Ubinus (No. SK472/DIKTI/KEP/1999)
Sumber:
Sejarah DKV Binus University.
Awal 2000
Nama Program Studi Desain Grafis Universitas Bina Nusantara
disesuaikan dengan Kopertis menjadi Desain Komunikasi Visual atau
disingkat DKV.
Sumber:
Sejarah DKV Binus University.
2002
Majalah desain grafis pertama di Indonesia
Dimotori oleh
M Arief Budiman (Petakumpet) majalah desain grafis pertama
Blank! Magazine terbit di Yogyakarta dengan visi ingin memberdayakan orang-orang kreatif melalui sudut pandang visual yang ekstrem (
To empower creative people through extreme visual perspective).
Setelah beroperasi selama kurang lebih 2 tahun (2002–2004), Blank!
Magazine harus ditutup pada 3 Maret 2004, setelah merugi lebih dari 140
juta rupiah. Penerbitan majalah ini berlangsung hingga enam edisi.
T-shirt seragam tim pengelola Blank! Magazine.
Sumber foto:
Kaos Blank!
2003
Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) berdiri
Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) diwacanakan pada awal tahun
2000 oleh 3 orang desainer grafis profesional dan pengajar desain grafis
yaitu Hastjarjo Boedi Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan dan Arif PSA
dengan tujuan untuk memberdayakan profesi desainer grafis baik dari segi
keilmuan maupun praksis di Indonesia, tetapi baru diresmikan pada saat
FDGI menyelenggarakan Pameran Poster “Melihat Indonesia Damai” pada
tanggal 6-14 Juni 2003 di Bentara Budaya, Jakarta. Pameran diresmikan
oleh Prof. Dr. Fuad Hasan bersama Prof. Dr. Selo Sumardjan dan dihadiri
oleh sekitar 400 orang. Kegiatan ini menjadi awal merekatkan kembali
hubungan dan membuka komunikasi antar desainer grafis baik profesional
maupun akademisi yang sempat vakum sebelumnya.
Dari atas ke bawah: Hastjarjo Boedi Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan, Arif PSA.
2003
Dari Forum Desainer Grafis Indonesia menjadi Forum Desain Grafis Indonesia
Pada tanggal 11 Juli 2003 FDGI mengadakan rapat kerja (raker) di
Pesona Florence, Blok H4 No. 50 Kota Wisata Cibubur yang menghasilkan
perubahan nama FDGI dari Forum Desainer Grafis Indonesia menjadi Forum
Desain Grafis Indonesia yang dimaksudkan agar FDGI menjangkau seluruh
pemangku kepentingan dalam desain grafis, jadi tidak hanya desainer
grafis saja. Di samping itu FDGI menegaskan statusnya sebagai organisasi
berbasis partisipatif bukan suatu asosiasi profesi yang berbasis
membership.
Pada Raker ini juga disepakati tanggal 11 Juli 2003 sebagai hari lahir
FDGI, mengingat tidak adanya kejelasan mengenai hari lahir FDGI sejak
tahun 2000. Hadir dalam raker ini: Inda Ariesta, Adi Yudhistira, Ryan
Wijaya, Ahmad Nurul Fajri (Jerry), Arief Yaniadi, Arif PSA, Mendiola
Budi Wiryawan dan Hastjarjo B Wibowo.
2003
8 November 2003
Jurusan Desain Komunikasi Visual Bina Nusantara melahirkan lulusan
pertamanya yang berjumlah 50 mahasiswa. Upacara wisuda diselenggarakan
di Balai Sidang dalam acara “Wisuda Angkatan 29“
Sumber:
Sejarah DKV Binus University.
2004
Majalah desain grafis Concept diterbitkan oleh pasangan suami isteri
Djoko Hartanto dan Fifi Oesman di bawah perusahaan penerbitan PT Concept
Media.
FDGI juga menjadi salah satu organisasi yang mendorong kemunculan
majalah ini, di mana Hastjarjo B Wibowo salah seorang pendiri FDGI
menjadi
Editor in Chief-nya yang pertama. Di majalah “Concept” selama tahun pertama FDGI mempunyai kolom tetap FDGI Spot.
Concept Volume 01 Edisi 05, 2005, Magazine Cover, “Serat Selarasa”, 2005
Sumber:
Magazines (2000-2009)
2004
FDGI&Friends pertama
FDGI & Friends #1 “Link & Match Industri Desain Grafis &
Pendidikan Tinggi Desain Grafis” diadakan pada tanggal 4 April 2004.
Narasumber: Mendiola Budi Wiryawan di wwwok Café, Kemang. Sampai akhir
2008, FDGI&Friends sudah terselenggara 19 kali.
2005
Fabio Gherardi, Ian Perkins dan Henricus Kusbiantoro di Indonesia
Pada 11 Maret 2005 FDGI menyelenggarakan Seminar “Cambridge, Bandung,
Modena via New York” dengan pembicara Fabio Gherardi, Ian Perkins dan
Henricus Kusbiantoro di Universitas Bina Nusantara dan Institut
Teknologi Bandung, yang dilanjutkan pada 17 Maret 2005 dengan Workshop
Desain Exhibition dengan instruktur Fabio Gherardi di Gallery Soemardja
Institut Teknologi Bandung.
Pada 24 Maret 2005: “Visual Branding From Museum To Corporate Giant”
diselenggarakan bersama majalah Cakram: Fabio Gherardi, Ian Perkins,
Henricus Kusbiantoro, dan Sakti Makki dengan moderator Danton Sihombing,
di Ballroom Intercontinental Mid Plaza yang dilanjutkan pada 25 Maret
2005: “Workshop Desain Museum”, Instruktur: Fabio Gherardi di Museum
Nasional Jakarta dan acara “Designer Gathering Aware, Share, Care
Together” di Bangsal Kertarajasa Museum Nasional, Jakarta.
2005
Pameran Poster Internasional Light of Hope for Indonesia
Pada tanggal 7-11 September 2005 FDGI menyelenggarakan Pameran
Poster Internasional “Light of Hope for Indonesia” di arena FGD Expo
2005 yang diikuti oleh 66 desainer dari 17 negara yaitu: Indonesia, USA,
India, Japan, Malaysia, Singapore, South Korea, The Netherlands,
Thailand, Vietnam, Taiwan, Iran, Germany, UK, Canada, Denmarkdan Hong
Kong dan kegiatan ini menjadi pameran poster terbesar di Indonesia dalam
kurun waktu 16 tahun terakhir. Pameran ini juga di pamerkan di Bentara
Budaya Yogyakarta, 9-13 Oktober 2005, di Campus Center, Institut
Teknologi Bandung 19-22 Oktober, 2005 dan di Universitas Kristen Petra
Surabaya 18-24 November 2005.
Mendiola Budi Wiryawan, Poster “Light of Hope for Indonesia”
Hermawan Tanzil, Poster “Light of Hope for Indonesia”
Sumber:
Posters (2000-2009).
2005
Pada tanggal 8 September 2005 dalam acara “Gathering and Talk
Show-It’s Graphic Designers United!” di arena FGD Expo 2005, Jakarta
Convention Center, yang diselenggarakan oleh FDGI, diterbitkan
Memorandum ADGI kepada Gauri Nasution, Danton Sihombing, Hastjarjo B
Wibowo dan Mendiola B Wiryawan untuk mempersiapkan Kongres ADGI dalam
waktu 6 bulan.
Pada bulan Oktober 2005 para penerima mandat membentuk Tim
Revitalisasi ADGI yang terdiri dari 14 orang desainer, yaitu; Andi S
Boediman, Ardian Elkana, Danton Sihombing, Divina Natalia, Djoko
Hartanto, Gauri Nasution, Hastjarjo B Wibowo, Hermawan Tanzil, Ilma D
Noe’man, Irvan A Noe’man, Lans Brahmantyo, Mendiola B Wiryawan, Nia
Karlina dan Sakti Makki. Tim ini bekerja selama 5 bulan untuk merumuskan
platform “Adgi Baru”. Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja
ADGI pada masa lalu dirumuskan branding platform Adgi baru yang kini
hadir dengan deskripsi Indonesia Design Professionals Association.
Dari atas ke bawah: Andi S Boediman, Ardian Elkana, Danton
Sihombing, Divina Natalia, Hermawan Tanzil, Irvan A Noeman, Lans
Brahmantyo, Sakti Makki.
2006
Program Studi Desain Komunikasi Visual, setingkat Jurusan ditempatkan langsung dibawah Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.
2006
Pada tanggal 22 Februari 2006 sekitar 40 desainer menghadiri
“Designer Gathering”
di LeBoYe atas undangan tim 14 yang mencanangkan Revitalisasi Adgi.
Tujuan pertemuan ini adalah untuk menghidupkan kembali asosiasi desainer
yang sempat mati suri itu. Pertemuan malam itu menghasilkan logo baru
Adgi serta rencana menggelar seminar pada bulan April 2006.
Setiap usulan dalam
gathering dijadikan bahan diskusi dalam
pertemuan-pertemuan Tim 14 sesudahnya, yang pada akhirnya menentukan
format Adgi sebagai sebuah organisasi
non-profit oriented yang berbentuk yayasan, yang berjuang bagi kepentingan anggotanya dan kemajuan desain nasional.
2006
Kongres Nasional Adgi pertama
Pada tanggal 19 April 2006 bertempat di Ballroom Hotel Le Meridien,
Jakarta diselenggarakan Kongres Adgi dimana terpilih formasi presidium
yang terdiri dari 5 orang yaitu Andi S Boediman, Danton Sihombing,
Hastjarjo B Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo untuk mengemban
tugas memimpin Adgi selama periode 1 tahun dengan mengusung tema
“Unifying Spirits”.
Implementasi gagasan desentralisasi telah melahirkan Adgi-Jakarta
Chapter yang diketuai oleh Nico A Pranoto dan Adgi -Surabaya Chapter
yang diketuai oleh Yosua Alpha Buana.
Kongres pertama Adgi ini didahului oleh seminar bertema
“The Power of Design in Creative Economy”
yang menghadirkan dua desainer internasional, Simon Pemberton
(Australian Graphic Designer Association, Australia) dan Kan Tai-Keung
(Kan and Lau Design Consultant, Hong Kong) serta Direktur Utama Bank BNI
46, Sigit Pramono.
Tujuan seminar:
1. Menyatakan kepada publik pentingnya dan besarnya potensi yang dapat
diberikan oleh desain grafis untuk meningkatkan kompetisi di dunia
bisnis.
2. Memberi arahan
‘know-how’ di bidang desain grafis untuk menumbuhkan tingkat kompetisi di kancah bisnis Indonesia.
3. Menjadi wadah yang memberikan kesempatan kepada para profesional
untuk belajar tentang trend, riset dan bisnis yang menggunakan desain
grafis sebagai
tool-nya.
Hermawan Tanzil, Poster Kongres Nasional Adgi ke-1: Unifying Spirits
2006
Pada tanggal 16-30 Agustus 2006 Adgi menggelar pameran desain
komunikasi visual “Petasan Grafis” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
dengan sub-judul “Pameran Nasionalisme Indonesia dalam Desain
Komunikasi Visual”. Pameran yang dibuka oleh Menteri Perdagangan Mari
Elka Pangestu itu diawali dengan pemutaran video perjalanan IPGI sebelum
menjadi ADGI, disusul penyerahan penghargaan untuk ke-5 pemenang
kompetisi “Ide Awards” (Penghargaan Nasional Akademik Desain Grafis).
Kompetisi ini diadakan khusus untuk mahasiswa desain komunikasi visual
yang mewakili institusi-institusi pendidikan desain di Indonesia yang
terbagi atas 3 pilihan tema:
1. Kemasan makanan tradisional Indonesia, misalnya ekspolorasi kemasan
dodol durian, tape ketan dsb., mulai dari brand identity dan seterusnya
2. Event, misalnya promosi tari-tarian daerah, resital gamelan dsb., mulai dari logo event dan sebagainya
3. Destination Branding, misalnya mengolah program komunikasi visual
suatu tempat yang menarik di Indonesia (pantai, museum, tempat
bersejarah dsb.).
Setelah melalui penilaian dewan juri yang terdiri dari Hanny
Kardinata (Desainer Grafis Senior), Sita Subijakto (Headline Creative
Communication), Ipong Purnomosidi (Kurator Bentara Budaya, Jakarta),
Nirwan Dewanto (Budayawan) dan Seno Gumira Ajidarma (Budayawan), keluar
sebagai pemenang adalah karya “Dolanpiade” dari Digital Studio, Jakarta
(Dicky Mardona, Meliana Sari Hermanto, Octavia Subiyanto, Rifki
Zulkarnain, Welly Caslin); “Peranakan Idealis” dari Institut Kesenian
Jakarta (Irvan Mulia Ahmadi, Rahayu Pratiwi, Husin Alkaff, Muhammad
Rizki Lazuardy); “Lurjuk” dari Universitas Kristen Petra, Surabaya
(Aileen Halim, Ang Siau Fang, Selvy Hermawan); “Batik Illusion” dari
Universitas Bina Nusantara (Adeline Ardine, Fredy Susanto, Nadya
Kartika) serta “Moralitas Pers” dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta
(Kezia Winarta Wahyuni Wijayati, Lia Anggraeni, Filina Vicentia,
Tafrian).
Masih berkaitan dengan pameran dan “Ide Awards”, pada tanggal 23 dan 24 Agustus 2006 digelar seminar dan
talkshow
dengan tema “Menyikapi booming pendidikan DKV dalam hubungannya dengan
kualitas output yang dihasilkan”. Hadir sebagai pembicara, Andrian
Dektisa Hagijanto, Sumbo Tinarbuko, Priyanto Sunarto dan Yongki
Safanayong yang dimoderatori oleh Hastjarjo B Wibowo.
Hari kedua seminar dibawakan Djoko Hartanto (Majalah Concept), Nilam P
Moeliono (Paper Project) dan Irwan Ahmett (Ahmett Salina) dengan
moderator Irfan N Suryanto dan dengan tema ‘Visi dan tips persiapan
bertarung dalam industri desain grafis’.
Hagung Sihag, Lasty Devira, Poster “Petasan Grafis”, 2006
Sumber:
Posters (2000-2009)
2007
13 Maret 2007: Situs DGI (Desain Grafis Indonesia) diluncurkan pada alamat http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/
Situs ini didirikan oleh Hanny Kardinata sebagai forum maya untuk
memupuk saling pengertian di antara desainer grafis Indonesia.
Tagline-nya berbunyi:
“Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society”.
Konsep saling pengertian di situs ini diwujudkan melalui penerbitan
bagian per bagian sejarah desain grafis Indonesia supaya angkatan muda
mengetahui dan memahami apa yang telah dilakukan oleh angkatan-angkatan
pendahulunya.
Situs DGI ini adalah embrio dari akan berdirinya Museum DGI (MDGI) di Desa Kreatif Chandari, Ciganjur, Jakarta Selatan.
Sumber:
Situs Desain Grafis Indonesia (DGI) – Catatan Perjalanannya
2007
Grafisosial Indonesia didirikan
Adalah sebuah perhimpunan nirlaba yang aktif melakukan penelitian dan
pendataan, penulisan dan publikasi, serta pelatihan, selain juga
perancangan, dalam bidang desain grafis untuk kepentingan sosial.
Awalnya adalah sebuah komunitas bernama Masyarakat Desain untuk
Humaniora (Madera) berdiri pada tahun 2002. Namun agar aktivitas menjadi
lebih fokus pada desain grafis, maka pada tahun 2007 didirikanlah
Grafisosial. Situs Jurnal Grafisosial beralamat di
http://grafisosial.wordpress.com
Struktur Organisasi
Executive Director: Kurnia Setiawan
Managing Director: Toto M Mukmin
Design Director: Juli Asmanto
Creative Director: Agus Danarto
Programme Director: Gregorius Genep Sukendro
Research and Development Director: Arief Adityawan S
Finance and Administration Director: Theresia Airin Sani
General Affairs: Hendra Bakti
Dari atas ke bawah: Kurnia Setiawan, Toto M Mukmin, Arief Adityawan S.
2007
1001 Inspiration Design Festival
“1001 Inspiration Design Festival”, sebuah acara berskala besar
pertama di bidang komunikasi visual Indonesia (desain grafis,
multimedia, animasi) yang diselenggarakan oleh majalah desain grafis
Concept dan Digital Studio College. Acara yang digelar pada tanggal
17-25 April ini secara umum dipecah dalam dua bagian yaitu “Inspiration
Light Up” (seminar kreatif menghadirkan pembicara luar dan dalam negeri,
yang berlangsung 17-19 April di Crown Plaza Jakarta) dan Exhibition
(memamerkan karya peserta kompetisi desain “1001 Cover Concept”, karya
lulusan Digital Studio College, karya para desainer Inggris, serta acara
hiburan lainnya), yang berlangsung 20-25 April di Senayan City
Jakarta).
Sebagai bagian dari “1001 Inspiration Design Festival” majalah desain
grafis Concept mengadakan kompetisi desain “1001 Cover Concept” yang
bermaksud memecahkan rekor dunia ‘majalah dengan variasi cover terbanyak
dalam satu edisi’. Kompetisi dengan hadiah terbesar sepanjang sejarah
ini (hadiah utama sebuah mobil Chevrolet-Kalos) diadakan dengan tujuan
untuk memberi kesempatan kepada para desainer muda Indonesia untuk ikut
merasakan menjadi pemecah rekor bersama-sama.
Total karya yang masuk berjumlah lebih dari 1300 karya, yang setelah
didata dan dipilah, ditentukan 1001 pemecah rekornya. Pada tahap
berikutnya tim intern Concept menyeleksi 208 karya yang dinilai unggul.
Ke 208 karya tersebut disaring lagi hingga menjadi 101 semifinalis untuk
kemudian dinilai oleh 5 juri yang terdiri dari Hanny Kardinata
(Desainer Grafis Senior), Hermawan Tanzil (Creative Director LeBoYe yang
mewakili Adgi-Indonesia Design Professionals Association), Mendiola B
Wiryawan (Creative Director Mendiola Design yang mewakili FDGI-Forum
Desain Grafis Indonesia), Vera Tarjono (Art Director Majalah Concept)
dan Stefanus Aristo Kristandyo (Marketing Manager General Motor yang
mewakili GM sebagai sponsor utama).
Penjurian yang berlangsung di Ruang Pamer Seni Rupa-Institut Kesenian
Jakarta itu memilih 11 finalis, yang kemudian dipersempit hingga
menjadi tiga pemenang, masing-masing sebagai juara pertama Daud Budi
Surya Nugraha, juara kedua Marishka Cempaka Dewi dan juara ketiga Agra
Satria.
Daud Budi Surya Nugraha, Juara pertama kompetisi desain “1001 Cover Concept”, 2007.
2007
Kongres Nasional Adgi kedua
Pada hari Kamis, tanggal 19 April 2007 jam 09.00 s/d 13.00 WIB
dilaksanakan Kongres Nasional Adgi kedua di gedung Galeri Nasional,
Jakarta. Kongres dihadiri 45 peserta undangan yang terdiri dari praktisi
(desainer) dan pendidik.
Kongres memutuskan dan menetapkan 4 agenda penting yaitu:
1. Penerimaan laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya (presidium).
2. Penetapan draft AD/ART dan Kode Etik menjadi rancangan AD/ART dan
Kode Etik untuk kemudian dihibahkan kepada pengurus mendatang untuk
disempurnakan.
3. Pelantikan Dewan Penasehat yang terdiri dari: Gauri Nasution, Ign.
Hermawan Tanzil, Irvan A Noe’man, Iwan Ramelan, dan Wagiono Sunarto.
4. Pemilihan, dan pelantikan Ketua Umum Adgi untuk periode pengurusan
2007–2010 atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku sesuai dengan yang
tertera pada AD/ART yang telah disempurnakan. Dari 5 nama Calon Ketua
Umum, terpilih satu dengan suara terbanyak yaitu sebanyak 27 suara
adalah Danton Sihombing.
Selanjutnya, Danton Sihombing selaku Ketua Umum Adgi 2007-2010
menunjuk Mario Tetelepta sebagai Sekjen Adgi dan Irvan N Suryanto
sebagai Direktur Pengembangan dan Pemasaran Produk.
2007
PT Concept Media mengembangkan diri dengan mengeluarkan dua penerbitan berkala baru yaitu: majalah ‘babyboss’ dan komik ALiA.
2007
Pameran Poster International “One Globe One Flag”
Pameran Poster International “One Globe One Flag” diadakan di Jakarta
Convention Center bersamaan dengan acara FGD Expo 2007. Adgi selaku
panitia pelaksana pameran turut mengundang desainer-desainer untuk
berpartisipasi sebagai peserta pameran. Seluruh peserta pameran ini
merupakan partisipan yang terdiri dari desainer-desainer Indonesia dan
dunia.

Adgi besama FGD Expo 2007 (pameran industri grafika terbesar di Asia
Tenggara) pada waktu bersamaan mengadakan acara “Think Big with Design”
yang merupakan
design conference terbesar dengan mengundang
desainer-desainer kelas dunia: Kang Yun Je (Samsung), Chris Bangle
(BMW), Karim Rashid (Karim Rashid Inc.), dll.
Hermawan Tanzil, Poster “One Globe One Flag”